Tahun 2006
merupakan awal dari perubahan paradigma pengelolaan Barang Milik Negara (BMN)
karena pada tahun 2006 tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah sebagai kelanjutan dari 3 (tiga) paket undang-undang
yang telah lahir sebelumnya yaitu Undang- Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Pengelolaan aset negara
dalam pengertian yang dimaksud dalam PP No.6 Tahun 2006 yang telah diubah
beberapa kali terakhir dengan PP No.27 Tahun 2014 adalah tidak
sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset
negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan
nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan Barang
Milik Negara/ Daerah yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) PP No.27 Tahun 2014
tersebut mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian,
pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan; dan pembinaan,
pengawasan dan pengendalian.
Atas
dasar PP No.6
Tahun 2006 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP No.27 Tahun 2014
tersebut, maka terbitlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
150/PMK.06/2014 tentang Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara yang
menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.06/2011, yang menjadi
pedoman perencanaan pengadaan dan pemeliharaan Barang Milik Negara bagi
Kementerian/ Lembaga.
Pada
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014 disebutkan bahwa Perencanaan Kebutuhan
adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan
Barang Milik Negara/Daerah
untuk menghubungkan pengadaan barang
yang telah lalu dengan
keadaan yang sedang berjalan
sebagai dasar dalam melakukan
tindakan yang akan datang. Perencanaan Kebutuhan BMN dituangkan dalam sebuah dokumen perencanaan BMN dalam
periode 1 tahun yang disebut Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN).
RKBMN memuat informasi berupa unit BMN yang direncakanan untuk dilakukan
pengadaan dan/atau pemeliharaan. Perencanaan kebutuhan BMN tersebut berpedoman
pada rensta K/L, standar barang, standar kebutuhan dengan memperhatikan
ketersediaan BMN, status barang dan kondisi barang.
Dengan
terbitnya PMK Nomor 150/PMK.06/2014 tersebut, seharusnya perencanaan BMN
menjadi lebih terarah dalam rangka peningkatan efisiensi, efektifitas, dan
menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Namun dalam kenyataannya, masih
terdapat permasalahan yang timbul dalam perencanaan dan penganggaran BMN, yaitu
ketidaktepatan perencanaan kebutuhan BMN. Tidak jarang kemudian rencana
kebutuhan ini dianggarkan, realisasinya menjadi sulit untuk diterapkan sebagai
akibat dari tidak direncanakan dengan matang; atau kalaupun terealisasi, tetapi
barang tersebut tidak dapat dioperasionalkan/ tidak dimanfaatkan.
Kondisi yang
mungkin menjadi penyebab atas “kegagalan” perencanaan BMN tersebut antara lain
:
1) Pencatataan
atas jumlah, nilai, status dan kondisi barang masih kurang akurat.
Pada kementerian/ Lembaga, informasi
mengenai jumlah, nilai, status, dan kondisi BMN telah dituangkan dalam sebuah
sistem inormasi yang disebut Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi – Barang
Milik Negara (SIMAK-BMN), dan penanggungjawab pencatatan dan inventarisasi BMN tersebut
adalah Kuasa Pengguna Barang, yang dalam hai ini adalah Kepala Kantor dalam
lingkungan Kementerian/ Lembaga (Pasal 7 ayat (2)c. PMK Nomor 150/PMK.06/2014).
Dalam penyusunan RKBMN untuk pengadaan
BMN, Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang harus memperhatikan ketersediaan
BMN yang ada, dan penyusunan RKBMN untuk pemeliharaan BMN, Pengguna Barang/
Kuasa Pengguna Barang harus memperhatikan daftar barang yang memuat informasi
mengenai status barang dan kondisi barang (Pasal 8 ayat (1) dan (2) PMK
Nomor 150/PMK.06/2014). Namun pada kenyataan, masih banyak pencatatan atas jumlah,
nilai, status dan kondisi BMN yang masih kurang akurat, sehingga RKBMN yang
disusun pun belum menggambarkan kebutuhan BMN yang sesungguhnya.
2) Belum
optimalnya mekanisme kontrol terhadap RKBMN yang diajukan.
Proses perencanaan kebutuhan selama ini dirumuskan
sendiri oleh Pengguna Barang (dalam hal ini adalah Kementerian/Lembaga
masing-masing), sementara persetujuan penganggaran dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan. Sebagaimana dijelaskan di atas,
dalam proses perencanaan kebutuhan, selama ini DJKN sama sekali tidak diberi
kewenangan apapun untuk menyentuhnya. Implikasinya, tidak ada mekanisme kontrol
yang memadai terhadap Kementerian/Lembaga dalam merumuskan barang apa saja yang
memang benar-benar Kementerian/Lembaga itu butuhkan. Kondisi demikian bisa
berakibat pada terjadinya ketidaktepatan perencanaan kebutuhan yang dirumuskan
sendiri oleh Kementerian/Lembaga itu. Ujung-ujungnya, jika kemudian rencana
kebutuhan ini dianggarkan, realisasinya menjadi sulit untuk diterapkan_sebagai
akibat dari tidak direncanakan dengan matang; atau kalaupun terealisasi, akan
berakibat pada terjadinya redundansi barang di kemudian hari. Hal ini
tentu saja akan berdampak pada terjadinya inefektivitas, inefisiensi, dan tidak
optimalnya pengelolaan BMN.
3) Ketentuan
yang tidak konsisten antara peraturan yang satu dengan yang lain.
Dalam sebuah institusi pemerintah, peraturan menjadi
dasar yang sangat penting dalam melaksanakan sebuah tindakan atau kegiatan,
sehingga aturan yang konsiten dan stabil sangatlah diperlukan. Namun tidak
dapat dipungkiri bahwa aturan tersebut dapat berubah-ubah seiring dengan
perkembangan kondisi, kemajuan teknologi, serta perkemban sistem informasi.
Permasalahan akan timbul jika ketentuan yang mengatur
hal yang sama antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya berbeda,
sebagai contoh dalam PP No.27 Tahun 2014 Pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa
Perencanaan Kebutuhan kecuali untuk
Penghapusan, berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan; dan/atau
standar harga. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
150/PMK.06/2014, perencanaan kebutuhan BMN berpedoman pada rensta K/L, standar
barang, standar kebutuhan.
Atas dasar
kondisi diatas, maka diperlukan langkah-langkah strategis agar rencana
kebutuhan dirumuskan dengan benar dan tepat sesuai dengan apa yang nyata-nyata
dibutuhkan; penganggaran dilakukan sesuai dengan rencana kebutuhan,
meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam
mengelola aset, yaitu :
1.
Mengoptimalkan peran APIP.
Peran APIP sangat dibutuhkan guna meningkatkan
keandalan database BMN yang dicatat
oleh Kuasa Pengguna Barang, review terhadap kebenaran dan kelangkapan RKBMN
serta kepatuhan terhadap penerapan ketentuan perencanaan kebutuhan BMN.
Untuk merumuskan apakah benar Kementerian/Lembaga
membutuhkan atau tidaknya suatu BMN, tentu dibutuhkan databaseBMN yang
andal. Tanpa database yang andal, pelaksanaan perencanaan kebutuhan dan
penganggaran sudah pasti tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
2.
Meningkatkan peran DJKN dalam filter RKBMN yang
diajukan
DJKN dapat menjadi filter Kementerian/Lembaga dalam
merumuskan kebutuhan barangnya sebelum rencana kebutuhan barang itu diajukan
untuk dianggarkan kepada DJA. Pada tahap awal, Kementerian/Lembaga memang tetap
berwenang untuk merumuskan sendiri BMN yang mereka butuhkan. Akan tetapi,
sebelum Kementerian/Lembaga mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga, DJKN akan melakukan assessment terlebih dahulu pada
rencana kebutuhan BMN Kementerian/Lembaga itu. Assessment dilakukan
dengan membandingkan rencana kebutuhan BMN Kementerian/Lembaga dengan existing
assets yang selama ini telah dimiliki. Dalam hal Kementerian/Lembaga
memang benar-benar membutuhkan BMN melalui proses pengadaan, rencana kebutuhan
Kementerian/Lembaga dapat diusulkan kepada DJA dalam RKA K/L yang bersangkutan.
Dalam hal ternyata Kementerian/Lembaga memang benar-benar membutuhkan BMN akan
tetapi bisa diupayakan tanpa melalui proses pengadaan, solusi non aset dalam
bentuk hibah, sewa, alih status, dan optimalisasi BMN idle dapat
dilakukan. Dalam hal ternyata Kementerian/Lembaga tidak benar-benar membutuhkan
BMN, rencana kebutuhan BMN tidak perlu diusulkan dalam RKA-K/L yang
bersangkutan.
3.
Konsistensi antar peraturan.
Peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak tumpang tindih dengan
peraturan lain yang satu level, mampu mengakomodasi kebutuhan akan peraturan,
serta bisa teraplikasikan dalam praktik. Selain itu, penambahan mekanisme
birokrasi yang baru nanti sebisa mungkin diharapkan tidak memperlambat proses
penyusunan RKA-K/L sehingga tidak kontraproduktif terhadap siklus APBN secara keseluruhan.
4. Kerjasama yang sinergi antara Pengguna Barang/ Kuasa
Pengguna Barang, Pengelola Barang, DJKN, dan DJA.
Pada akhirnya kesemua proses ini tidak akan berjalan
jika Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang, Pengelola Barang, DJKN, dan DJA
tidak memiliki pemahaman yang sama mengenai pentingnya perencanaan kebutuhan
yang tepat dalam praktik pengelolaan APBN pada umumnya dan pengelolaan BMN pada
khususnya. Untuk itu, setiap pihak wajib memiliki paradigma yang sama sehingga
kedepannya proses perencaan kebutuhan dan penganggaran ini dapat berjalan dengan
baik sebagaimana idealnya.
oleh : yudiyanto
dari berbagai sumber
oleh : yudiyanto
dari berbagai sumber
pak apakah RKBMN kita bisa mengusulkan pengadaan Mobil ?
BalasHapusBantu jawab, Bisa pak. Namun sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku, semisal kendaraan tersebut untuk dinas yang hanya dapat diberikan/diusulkan untuk pengadaan kendaraan dinas operasional atau pejabat eselon II ke atas atau Kepala Kantor dan memang masuk dalam SBSK AADB (Alat Angkutan Dinas Bermotor).
BalasHapus