Selasa, 21 Oktober 2014

Permasalahan Perencanaan dan Penganggaran BMN

Tahun 2006 merupakan awal dari perubahan paradigma pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) karena pada tahun 2006 tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagai kelanjutan dari 3 (tiga) paket undang-undang yang telah lahir sebelumnya yaitu Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam PP No.6 Tahun 2006 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP No.27 Tahun 2014 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) PP No.27 Tahun 2014 tersebut mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan; dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Atas dasar PP No.6 Tahun 2006 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP No.27 Tahun 2014 tersebut, maka terbitlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014 tentang Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara yang menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.06/2011, yang menjadi pedoman perencanaan pengadaan dan pemeliharaan Barang Milik Negara bagi Kementerian/ Lembaga.

Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014 disebutkan bahwa Perencanaan  Kebutuhan  adalah  kegiatan  merumuskan rincian  kebutuhan  Barang  Milik  Negara/Daerah  untuk menghubungkan  pengadaan  barang  yang  telah  lalu dengan  keadaan  yang sedang  berjalan  sebagai  dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. Perencanaan Kebutuhan BMN dituangkan  dalam sebuah dokumen perencanaan BMN dalam periode 1 tahun yang disebut Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN). RKBMN memuat informasi berupa unit BMN yang direncakanan untuk dilakukan pengadaan dan/atau pemeliharaan. Perencanaan kebutuhan BMN tersebut berpedoman pada rensta K/L, standar barang, standar kebutuhan dengan memperhatikan ketersediaan BMN, status barang dan kondisi barang.

Dengan terbitnya PMK Nomor 150/PMK.06/2014 tersebut, seharusnya perencanaan BMN menjadi lebih terarah dalam rangka peningkatan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Namun dalam kenyataannya, masih terdapat permasalahan yang timbul dalam perencanaan dan penganggaran BMN, yaitu ketidaktepatan perencanaan kebutuhan BMN. Tidak jarang kemudian rencana kebutuhan ini dianggarkan, realisasinya menjadi sulit untuk diterapkan sebagai akibat dari tidak direncanakan dengan matang; atau kalaupun terealisasi, tetapi barang tersebut tidak dapat dioperasionalkan/ tidak dimanfaatkan.

Kondisi yang mungkin menjadi penyebab atas “kegagalan” perencanaan BMN tersebut antara lain :
1)    Pencatataan atas jumlah, nilai, status dan kondisi barang masih kurang akurat.
Pada kementerian/ Lembaga, informasi mengenai jumlah, nilai, status, dan kondisi BMN telah dituangkan dalam sebuah sistem inormasi yang disebut Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi – Barang Milik Negara (SIMAK-BMN), dan penanggungjawab pencatatan dan inventarisasi BMN tersebut adalah Kuasa Pengguna Barang, yang dalam hai ini adalah Kepala Kantor dalam lingkungan Kementerian/ Lembaga (Pasal 7 ayat (2)c. PMK Nomor 150/PMK.06/2014).
Dalam penyusunan RKBMN untuk pengadaan BMN, Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang harus memperhatikan ketersediaan BMN yang ada, dan penyusunan RKBMN untuk pemeliharaan BMN, Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang harus memperhatikan daftar barang yang memuat informasi mengenai status barang dan kondisi barang (Pasal 8 ayat (1) dan (2) PMK Nomor 150/PMK.06/2014). Namun pada kenyataan, masih banyak pencatatan atas jumlah, nilai, status dan kondisi BMN yang masih kurang akurat, sehingga RKBMN yang disusun pun belum menggambarkan kebutuhan BMN yang sesungguhnya.

2)    Belum optimalnya mekanisme kontrol terhadap RKBMN yang diajukan.
Proses perencanaan kebutuhan selama ini dirumuskan sendiri oleh Pengguna Barang (dalam hal ini adalah Kementerian/Lembaga masing-masing), sementara persetujuan penganggaran dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan. Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam proses perencanaan kebutuhan, selama ini DJKN sama sekali tidak diberi kewenangan apapun untuk menyentuhnya. Implikasinya, tidak ada mekanisme kontrol yang memadai terhadap Kementerian/Lembaga dalam merumuskan barang apa saja yang memang benar-benar Kementerian/Lembaga itu butuhkan. Kondisi demikian bisa berakibat pada terjadinya ketidaktepatan perencanaan kebutuhan yang dirumuskan sendiri oleh Kementerian/Lembaga itu. Ujung-ujungnya, jika kemudian rencana kebutuhan ini dianggarkan, realisasinya menjadi sulit untuk diterapkan_sebagai akibat dari tidak direncanakan dengan matang; atau kalaupun terealisasi, akan berakibat pada terjadinya redundansi barang di kemudian hari.  Hal ini tentu saja akan berdampak pada terjadinya inefektivitas, inefisiensi, dan tidak optimalnya pengelolaan BMN.

3)    Ketentuan yang tidak konsisten antara peraturan yang satu dengan yang lain.
Dalam sebuah institusi pemerintah, peraturan menjadi dasar yang sangat penting dalam melaksanakan sebuah tindakan atau kegiatan, sehingga aturan yang konsiten dan stabil sangatlah diperlukan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa aturan tersebut dapat berubah-ubah seiring dengan perkembangan kondisi, kemajuan teknologi, serta perkemban sistem informasi.
Permasalahan akan timbul jika ketentuan yang mengatur hal yang sama antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya berbeda, sebagai contoh dalam PP No.27 Tahun 2014 Pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa Perencanaan  Kebutuhan kecuali untuk Penghapusan, berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan; dan/atau standar harga. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014, perencanaan kebutuhan BMN berpedoman pada rensta K/L, standar barang, standar kebutuhan.

Atas dasar kondisi diatas, maka diperlukan langkah-langkah strategis agar rencana kebutuhan dirumuskan dengan benar dan tepat sesuai dengan apa yang nyata-nyata dibutuhkan; penganggaran dilakukan sesuai dengan rencana kebutuhan, meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset, yaitu :
1.      Mengoptimalkan peran APIP.
Peran APIP sangat dibutuhkan guna meningkatkan keandalan database BMN yang dicatat oleh Kuasa Pengguna Barang, review terhadap kebenaran dan kelangkapan RKBMN serta kepatuhan terhadap penerapan ketentuan perencanaan kebutuhan BMN.
Untuk merumuskan apakah benar Kementerian/Lembaga membutuhkan atau tidaknya suatu BMN, tentu dibutuhkan databaseBMN yang andal. Tanpa database yang andal, pelaksanaan perencanaan kebutuhan dan penganggaran sudah pasti tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.

2.      Meningkatkan peran DJKN dalam filter RKBMN yang diajukan
DJKN dapat menjadi filter Kementerian/Lembaga dalam merumuskan kebutuhan barangnya sebelum rencana kebutuhan barang itu diajukan untuk dianggarkan kepada DJA. Pada tahap awal, Kementerian/Lembaga memang tetap berwenang untuk merumuskan sendiri BMN yang mereka butuhkan. Akan tetapi, sebelum Kementerian/Lembaga mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, DJKN akan melakukan assessment terlebih dahulu pada rencana kebutuhan BMN Kementerian/Lembaga itu. Assessment dilakukan dengan membandingkan rencana kebutuhan BMN Kementerian/Lembaga dengan existing assets yang selama ini telah dimiliki. Dalam hal Kementerian/Lembaga memang benar-benar membutuhkan BMN melalui proses pengadaan, rencana kebutuhan Kementerian/Lembaga dapat diusulkan kepada DJA dalam RKA K/L yang bersangkutan. Dalam hal ternyata Kementerian/Lembaga memang benar-benar membutuhkan BMN akan tetapi bisa diupayakan tanpa melalui proses pengadaan, solusi non aset dalam bentuk hibah, sewa, alih status, dan optimalisasi BMN idle dapat dilakukan. Dalam hal ternyata Kementerian/Lembaga tidak benar-benar membutuhkan BMN, rencana kebutuhan BMN tidak perlu diusulkan dalam RKA-K/L yang bersangkutan.

3.      Konsistensi antar peraturan.
Peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak tumpang tindih dengan peraturan lain yang satu level, mampu mengakomodasi kebutuhan akan peraturan, serta bisa teraplikasikan dalam praktik. Selain itu, penambahan mekanisme birokrasi yang baru nanti sebisa mungkin diharapkan tidak memperlambat proses penyusunan RKA-K/L sehingga tidak kontraproduktif terhadap siklus APBN secara keseluruhan.

4.   Kerjasama yang sinergi antara Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang, Pengelola Barang, DJKN, dan DJA.
Pada akhirnya kesemua proses ini tidak akan berjalan jika Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang, Pengelola Barang, DJKN, dan DJA tidak memiliki pemahaman yang sama mengenai pentingnya perencanaan kebutuhan yang tepat dalam praktik pengelolaan APBN pada umumnya dan pengelolaan BMN pada khususnya. Untuk itu, setiap pihak wajib memiliki paradigma yang sama sehingga kedepannya proses perencaan kebutuhan dan penganggaran ini dapat berjalan dengan baik sebagaimana idealnya.

oleh  : yudiyanto
dari berbagai sumber

2 komentar:

  1. pak apakah RKBMN kita bisa mengusulkan pengadaan Mobil ?

    BalasHapus
  2. Bantu jawab, Bisa pak. Namun sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku, semisal kendaraan tersebut untuk dinas yang hanya dapat diberikan/diusulkan untuk pengadaan kendaraan dinas operasional atau pejabat eselon II ke atas atau Kepala Kantor dan memang masuk dalam SBSK AADB (Alat Angkutan Dinas Bermotor).

    BalasHapus