Selasa, 28 Oktober 2014

Bagan Kewenangan BPKP Dalam Melakukan Audit Investigatif

Akhir akhir ini banyak yang mempertanyakan terkait kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigatif, terutama terkait dengan hasil perhitungan kerugian negara yang telah dilakukan oleh BPKP.
Kalau menurut penulis pribadi, jika kita sama sama setuju bahwa yang korupsi merupakan suatu kejahatan, maka setiap warga negara seharusnya dapat turut andil dalam memerangi kejahatan itu, dan seharusnya yang dipermasalahkan adalah bukan siapa atau instansi apa, tapi adalah bagaimana metode atau proses orang pribadi/ instansi tersebut dalam melakukan audit/pemeriksaan.
Untuk lebih jelasnya terkait kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigatif dapat digambarkan dalam bagan di bawah (kalau gambarnya kekecilan, bisa download di https://drive.google.com/file/d/0B7acs5k-ZMgRTmhrMjFtT1g3c3c/view?usp=sharing

Bagan Kewenangan BPKP Dalam Melakukan Audit Investigatif

1.    Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menerbitkan Keppres Nomor 103 Tahun 2001 dan Keppres  Nomor 110 Tahun 2001 yang membentuk BPKP yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
2.    Berdasarkan PP No 60 Tahun 2008, BPKP sebagai aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) (Pasal 1 angka 4 dan Pasal 49) dapat melakukan pengawasan intern berupa audit investigatif (Pasal 1 angka 4 dan Pasal 50). Selanjutnya , Presiden menerbitkan Inpres Nomor  4 Tahun 2011 dan Inpres  Nomor 9 Tahun 2011 yang memberikan instruksi kepada BPKP  untuk melakukan audit tujuan tertentu terhadap program-program strategis nasional yang mendapat perhatian publik dan menjadi isu terkini dan melakukan percepatan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.    Pada tahun 2008, BPK mengajukan jucial review ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 terhadap Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, khususnya sepanjang menyangkut frasa “atau instansi pemerintah” Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007. Dalam dalilnya dinyatakan bahwa BPK adalah satu satunya lembaga yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan keuangan Negara secara bebas dan mandiri yang diatur dalam Pasal 23E ayat (1) dan 23G ayat (2) UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dengan:
1)     Pasal 3 ayat (1) Pasal 10 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
2)     Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 9 ayat (1) huruf b UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
4.    Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan Judicial Review BPK tersebut “tidak dapat diterima” , dengan pertimbangan hukum  yang pada pokoknya               menyatakan bahwa:  kata “satu” dalam Pasal 23E UUD 1945 itu merupakan penegasan bahwa tidak boleh ada badan atau lembaga lain yang memiliki kewenangan memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang kebebasan dan kemandiriannya sama dengan BPK dan kedudukannya sederajat dengan BPK. Jika Pemerintah (Presiden) – untuk memenuhi tuntutan kebutuhan adanya internal audit – memandang perlu membentuk suatu instansi tersendiri, maka hal demikian dimungkinkan oleh UUD 1945. Selanjutnya, menurut Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004  dikatakan, “Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaandan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern Pemerintah”.
5.    Pada tahun 2012, MK menguatkan kewenangan BPKP melakukan audit investigasi berdasarkan Keppres 103 tahun 2001 dan PP No 60 Tahun 2008. Antara BPKP dan BPK masing-masing memiliki kewenangan melakukan audit berdasarkan peraturan masing-masing.


Selasa, 21 Oktober 2014

Roadmap Peraturan Terkait Manajemen Barang Milik Negara/ Daerah

Road Map Peraturan Terkait Manajemen BMN/D

Permasalahan Perencanaan dan Penganggaran BMN

Tahun 2006 merupakan awal dari perubahan paradigma pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) karena pada tahun 2006 tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagai kelanjutan dari 3 (tiga) paket undang-undang yang telah lahir sebelumnya yaitu Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam PP No.6 Tahun 2006 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP No.27 Tahun 2014 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) PP No.27 Tahun 2014 tersebut mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan; dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Atas dasar PP No.6 Tahun 2006 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP No.27 Tahun 2014 tersebut, maka terbitlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014 tentang Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara yang menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.06/2011, yang menjadi pedoman perencanaan pengadaan dan pemeliharaan Barang Milik Negara bagi Kementerian/ Lembaga.

Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014 disebutkan bahwa Perencanaan  Kebutuhan  adalah  kegiatan  merumuskan rincian  kebutuhan  Barang  Milik  Negara/Daerah  untuk menghubungkan  pengadaan  barang  yang  telah  lalu dengan  keadaan  yang sedang  berjalan  sebagai  dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. Perencanaan Kebutuhan BMN dituangkan  dalam sebuah dokumen perencanaan BMN dalam periode 1 tahun yang disebut Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN). RKBMN memuat informasi berupa unit BMN yang direncakanan untuk dilakukan pengadaan dan/atau pemeliharaan. Perencanaan kebutuhan BMN tersebut berpedoman pada rensta K/L, standar barang, standar kebutuhan dengan memperhatikan ketersediaan BMN, status barang dan kondisi barang.

Dengan terbitnya PMK Nomor 150/PMK.06/2014 tersebut, seharusnya perencanaan BMN menjadi lebih terarah dalam rangka peningkatan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Namun dalam kenyataannya, masih terdapat permasalahan yang timbul dalam perencanaan dan penganggaran BMN, yaitu ketidaktepatan perencanaan kebutuhan BMN. Tidak jarang kemudian rencana kebutuhan ini dianggarkan, realisasinya menjadi sulit untuk diterapkan sebagai akibat dari tidak direncanakan dengan matang; atau kalaupun terealisasi, tetapi barang tersebut tidak dapat dioperasionalkan/ tidak dimanfaatkan.

Kondisi yang mungkin menjadi penyebab atas “kegagalan” perencanaan BMN tersebut antara lain :
1)    Pencatataan atas jumlah, nilai, status dan kondisi barang masih kurang akurat.
Pada kementerian/ Lembaga, informasi mengenai jumlah, nilai, status, dan kondisi BMN telah dituangkan dalam sebuah sistem inormasi yang disebut Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi – Barang Milik Negara (SIMAK-BMN), dan penanggungjawab pencatatan dan inventarisasi BMN tersebut adalah Kuasa Pengguna Barang, yang dalam hai ini adalah Kepala Kantor dalam lingkungan Kementerian/ Lembaga (Pasal 7 ayat (2)c. PMK Nomor 150/PMK.06/2014).
Dalam penyusunan RKBMN untuk pengadaan BMN, Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang harus memperhatikan ketersediaan BMN yang ada, dan penyusunan RKBMN untuk pemeliharaan BMN, Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang harus memperhatikan daftar barang yang memuat informasi mengenai status barang dan kondisi barang (Pasal 8 ayat (1) dan (2) PMK Nomor 150/PMK.06/2014). Namun pada kenyataan, masih banyak pencatatan atas jumlah, nilai, status dan kondisi BMN yang masih kurang akurat, sehingga RKBMN yang disusun pun belum menggambarkan kebutuhan BMN yang sesungguhnya.

2)    Belum optimalnya mekanisme kontrol terhadap RKBMN yang diajukan.
Proses perencanaan kebutuhan selama ini dirumuskan sendiri oleh Pengguna Barang (dalam hal ini adalah Kementerian/Lembaga masing-masing), sementara persetujuan penganggaran dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan. Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam proses perencanaan kebutuhan, selama ini DJKN sama sekali tidak diberi kewenangan apapun untuk menyentuhnya. Implikasinya, tidak ada mekanisme kontrol yang memadai terhadap Kementerian/Lembaga dalam merumuskan barang apa saja yang memang benar-benar Kementerian/Lembaga itu butuhkan. Kondisi demikian bisa berakibat pada terjadinya ketidaktepatan perencanaan kebutuhan yang dirumuskan sendiri oleh Kementerian/Lembaga itu. Ujung-ujungnya, jika kemudian rencana kebutuhan ini dianggarkan, realisasinya menjadi sulit untuk diterapkan_sebagai akibat dari tidak direncanakan dengan matang; atau kalaupun terealisasi, akan berakibat pada terjadinya redundansi barang di kemudian hari.  Hal ini tentu saja akan berdampak pada terjadinya inefektivitas, inefisiensi, dan tidak optimalnya pengelolaan BMN.

3)    Ketentuan yang tidak konsisten antara peraturan yang satu dengan yang lain.
Dalam sebuah institusi pemerintah, peraturan menjadi dasar yang sangat penting dalam melaksanakan sebuah tindakan atau kegiatan, sehingga aturan yang konsiten dan stabil sangatlah diperlukan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa aturan tersebut dapat berubah-ubah seiring dengan perkembangan kondisi, kemajuan teknologi, serta perkemban sistem informasi.
Permasalahan akan timbul jika ketentuan yang mengatur hal yang sama antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya berbeda, sebagai contoh dalam PP No.27 Tahun 2014 Pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa Perencanaan  Kebutuhan kecuali untuk Penghapusan, berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan; dan/atau standar harga. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014, perencanaan kebutuhan BMN berpedoman pada rensta K/L, standar barang, standar kebutuhan.

Atas dasar kondisi diatas, maka diperlukan langkah-langkah strategis agar rencana kebutuhan dirumuskan dengan benar dan tepat sesuai dengan apa yang nyata-nyata dibutuhkan; penganggaran dilakukan sesuai dengan rencana kebutuhan, meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset, yaitu :
1.      Mengoptimalkan peran APIP.
Peran APIP sangat dibutuhkan guna meningkatkan keandalan database BMN yang dicatat oleh Kuasa Pengguna Barang, review terhadap kebenaran dan kelangkapan RKBMN serta kepatuhan terhadap penerapan ketentuan perencanaan kebutuhan BMN.
Untuk merumuskan apakah benar Kementerian/Lembaga membutuhkan atau tidaknya suatu BMN, tentu dibutuhkan databaseBMN yang andal. Tanpa database yang andal, pelaksanaan perencanaan kebutuhan dan penganggaran sudah pasti tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.

2.      Meningkatkan peran DJKN dalam filter RKBMN yang diajukan
DJKN dapat menjadi filter Kementerian/Lembaga dalam merumuskan kebutuhan barangnya sebelum rencana kebutuhan barang itu diajukan untuk dianggarkan kepada DJA. Pada tahap awal, Kementerian/Lembaga memang tetap berwenang untuk merumuskan sendiri BMN yang mereka butuhkan. Akan tetapi, sebelum Kementerian/Lembaga mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, DJKN akan melakukan assessment terlebih dahulu pada rencana kebutuhan BMN Kementerian/Lembaga itu. Assessment dilakukan dengan membandingkan rencana kebutuhan BMN Kementerian/Lembaga dengan existing assets yang selama ini telah dimiliki. Dalam hal Kementerian/Lembaga memang benar-benar membutuhkan BMN melalui proses pengadaan, rencana kebutuhan Kementerian/Lembaga dapat diusulkan kepada DJA dalam RKA K/L yang bersangkutan. Dalam hal ternyata Kementerian/Lembaga memang benar-benar membutuhkan BMN akan tetapi bisa diupayakan tanpa melalui proses pengadaan, solusi non aset dalam bentuk hibah, sewa, alih status, dan optimalisasi BMN idle dapat dilakukan. Dalam hal ternyata Kementerian/Lembaga tidak benar-benar membutuhkan BMN, rencana kebutuhan BMN tidak perlu diusulkan dalam RKA-K/L yang bersangkutan.

3.      Konsistensi antar peraturan.
Peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak tumpang tindih dengan peraturan lain yang satu level, mampu mengakomodasi kebutuhan akan peraturan, serta bisa teraplikasikan dalam praktik. Selain itu, penambahan mekanisme birokrasi yang baru nanti sebisa mungkin diharapkan tidak memperlambat proses penyusunan RKA-K/L sehingga tidak kontraproduktif terhadap siklus APBN secara keseluruhan.

4.   Kerjasama yang sinergi antara Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang, Pengelola Barang, DJKN, dan DJA.
Pada akhirnya kesemua proses ini tidak akan berjalan jika Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang, Pengelola Barang, DJKN, dan DJA tidak memiliki pemahaman yang sama mengenai pentingnya perencanaan kebutuhan yang tepat dalam praktik pengelolaan APBN pada umumnya dan pengelolaan BMN pada khususnya. Untuk itu, setiap pihak wajib memiliki paradigma yang sama sehingga kedepannya proses perencaan kebutuhan dan penganggaran ini dapat berjalan dengan baik sebagaimana idealnya.

oleh  : yudiyanto
dari berbagai sumber